Saya Resah, Saya Risih.
.
Baru kali ini mungkin dalam blog saya menggunakan kata "saya" yang mungkin bisa dibilang terlalu formal untuk blogger amatiran seperti saya ini. Tentu teman-teman ketahui sendiri bahwa setiap postingan-postingan saya dalam blog ini sebelumnya selalu membahas tentang kehidupan pribadi. Lantas saya mau bahas apa sekarang?
Beberapa bulan kebelakang rupanya sosial media saya dipenuhi oleh postingan hujatan, ujaran kebencian dan semua hal-hal yang kebenarannya belum diketahui secara jelas. Tentu kalian pun tahu dan mungkin menyadari sendiri bahwa semua ini terjadi sebagai dampak adanya pemilihan calon presiden dan wakil presiden Negara Tercinta kita ini. Kampanye-kampanye yang dilakukan oleh tim sukses adalah buruk menurut saya. Kenapa? Sebab saya sangat jarang sekali melihat hal-hal atau program yang diunggulkan dari kedua paslon sekarang. Selalu saja yang saya lihat adalah postingan-postingan yang berisi menjatuhkan paslon lain dengan tudingan yang belum terbukti. Keburukan dan kejelekan paslon lain seperti nya adalah sasaran empuk yang baik untuk dijadikan kampanye. Memang beberapa ada yang berusaha mengagung-agungkan paslonnya dengan cara menyebarkan hal baiknya. Namun, skala perbandingan amat jauh lebih sedikit daripada hoax, fitnah, menjatuhkan martabat, dan penyebaran kebencian yang hampir memenuhi sosial media saya.
Jujur, saya risih. Saya risih dengan dampak yang ditimbulkannya dari adanya pemilihan capres tahun ini. Beberapa rekan saya pun mendadak jadi pengikut aliran-aliran penyebar berita buruk di sosmed. Mereka ikut-ikutan jadi penghujat. Apa memang cap bangsa penghujat bagi Indonesia itu benar adanya? Apa menyebarkan kebencian lebih mudah daripada menanamkan kekaguman dalam kampanye ini? Apa selalu hal yang kita lihat dan kita dengar di sosial media adalah hal yang mesti kita percaya? Apa setiap postingan tersebut menunjukkan kebenaran yang sejatinya murni? Apa kalian tidak berpikir bahwa kita sekarang lebih mudah terprovokasi untuk membenci daripada tersugesti untuk memuji?
Saya amat risih, teman-teman. Jika karena adanya pengurutan nomor pada setiap pasangan calon menjadikan hal itu sebagai identitas mereka. Angka 1 dan 2 sudah ada jauh dari sebelum kampanye ini dimulai. Lantas, mengapa sekarang angka itu dominan dijadikan bahan kampanye dan membatasi kita untuk bertindak atau menyerukan sesuatu dengan membawa angka tersebut. Semisal, Saya sedang berada di Jurusan yang sangat mengunggulkan angka 1 sebagai lambang persatuan kami. Jargon kami pun, Salam Satu Manajemen dan setiap foto yang kami abadikan selalu berfose dengan mengacungkan satu jari telunjuk. Hal itu sudah menjadi budaya turun-temurun di jurusan kami. Namun, karena adanya pilpres ini kami jadi dibungkam untuk berekspresi. Beberapa argumen pun saya terima dan dengar sendiri, "Jangan gitu di fotonya, nanti disangka milih Paslon no urut satu 1", "Fosenya ga boleh ngangkat satu tangan ya, karena kita bukan tim sukses".
Ada juga fose dengan mengangkan dua jari sebagai lambang kedamaian (peace) , kalau bahasa yang dimengertinya "Pis". Ada juga gaya andalan saat berfoto dengan mengacungkan dua jari, dan hal itu lazim sebelum kampanye capres ini dimulai. Lalu banyak juga yang nyentil bilang, "Jangan gitu eksisnya,", "Gayanya jangan mengacungkan dua jari lah, da bukan kampanye". Lhoo gitu sih? Kenapa harus menghilangkan budaya kita hanya karena hal ini? Kenapa selalu diasumsikan semua hal ada urusannya dengan politik pilpres? Kenapa semua angka no urut ini merambah ke berbagai aktivitas kita dan membatasi kita untuk berekspresi dan bertindak sesuai keinginan? Saya pun masih bingung, apakah orang yang berbicara seperti itu adalah orang yang menghindari asumsi publik tentang kampanye ini atau memang mereka merupakan pendukung salah satu paslon. Ah, entahlah. Yang jelas saya tidak suka kalau ada pembatasan terhadap kebebasan berekspresi.
Saya pun resah, jika bangsa kita terus-menerus menjadi terburai hanya karena berbeda pilihan. Saya resah, bagaimana jadinya negara kita jika pemikiran bangsanya dipenuhi hujatan dan kebencian. Bukannya kita ini satu Indonesia? Pikiran dan pilihan boleh berbeda. Tapi jangan sampai meruntuhkan persatuan yang telah lama kita bangun kokoh. Setiap orang punya hak masing-masing untuk menentukan pilihannya. Kita boleh bertindak persuasif asalkan selalu bertindak baik dengan menanamkan nilai-nilai moral untuk tidak saling menghujat. Jangan menjadi provokator yang mengajak untuk membenci. Ketika setiap orang berbeda pilihan dan pendapat dengan kita, jangan judge mereka bahwa mereka salah. Karena setiap hal selalu memiliki kebenaran tersendiri saat dilihat dari sisi lainnya. Tidak perlu repot-repot berdebat keras dan sampai melakukan hal-hal bodoh karena merasa berbeda pilihan. Biarkan saja. Semuanya punya hak yang sama untuk memilih pilihan mereka masing-masing. Ingat, kita ini satu Indonesia, teman-teman.
Terakhir, disini saya tidak pernah menuntut teman-teman semua untuk berpikir sesuai dengan asumsi saya. Kalian punya pikiran sendiri yang mungkin berbeda dengan pemikiran saya. Kalian punya pandangan sendiri yang mungkin bertentangan dengan pandangan saya. Tapi, saya harap semuanya tetap menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa. Jadilah pemilih yang bijak.
Baru kali ini mungkin dalam blog saya menggunakan kata "saya" yang mungkin bisa dibilang terlalu formal untuk blogger amatiran seperti saya ini. Tentu teman-teman ketahui sendiri bahwa setiap postingan-postingan saya dalam blog ini sebelumnya selalu membahas tentang kehidupan pribadi. Lantas saya mau bahas apa sekarang?
Beberapa bulan kebelakang rupanya sosial media saya dipenuhi oleh postingan hujatan, ujaran kebencian dan semua hal-hal yang kebenarannya belum diketahui secara jelas. Tentu kalian pun tahu dan mungkin menyadari sendiri bahwa semua ini terjadi sebagai dampak adanya pemilihan calon presiden dan wakil presiden Negara Tercinta kita ini. Kampanye-kampanye yang dilakukan oleh tim sukses adalah buruk menurut saya. Kenapa? Sebab saya sangat jarang sekali melihat hal-hal atau program yang diunggulkan dari kedua paslon sekarang. Selalu saja yang saya lihat adalah postingan-postingan yang berisi menjatuhkan paslon lain dengan tudingan yang belum terbukti. Keburukan dan kejelekan paslon lain seperti nya adalah sasaran empuk yang baik untuk dijadikan kampanye. Memang beberapa ada yang berusaha mengagung-agungkan paslonnya dengan cara menyebarkan hal baiknya. Namun, skala perbandingan amat jauh lebih sedikit daripada hoax, fitnah, menjatuhkan martabat, dan penyebaran kebencian yang hampir memenuhi sosial media saya.
Jujur, saya risih. Saya risih dengan dampak yang ditimbulkannya dari adanya pemilihan capres tahun ini. Beberapa rekan saya pun mendadak jadi pengikut aliran-aliran penyebar berita buruk di sosmed. Mereka ikut-ikutan jadi penghujat. Apa memang cap bangsa penghujat bagi Indonesia itu benar adanya? Apa menyebarkan kebencian lebih mudah daripada menanamkan kekaguman dalam kampanye ini? Apa selalu hal yang kita lihat dan kita dengar di sosial media adalah hal yang mesti kita percaya? Apa setiap postingan tersebut menunjukkan kebenaran yang sejatinya murni? Apa kalian tidak berpikir bahwa kita sekarang lebih mudah terprovokasi untuk membenci daripada tersugesti untuk memuji?
Saya amat risih, teman-teman. Jika karena adanya pengurutan nomor pada setiap pasangan calon menjadikan hal itu sebagai identitas mereka. Angka 1 dan 2 sudah ada jauh dari sebelum kampanye ini dimulai. Lantas, mengapa sekarang angka itu dominan dijadikan bahan kampanye dan membatasi kita untuk bertindak atau menyerukan sesuatu dengan membawa angka tersebut. Semisal, Saya sedang berada di Jurusan yang sangat mengunggulkan angka 1 sebagai lambang persatuan kami. Jargon kami pun, Salam Satu Manajemen dan setiap foto yang kami abadikan selalu berfose dengan mengacungkan satu jari telunjuk. Hal itu sudah menjadi budaya turun-temurun di jurusan kami. Namun, karena adanya pilpres ini kami jadi dibungkam untuk berekspresi. Beberapa argumen pun saya terima dan dengar sendiri, "Jangan gitu di fotonya, nanti disangka milih Paslon no urut satu 1", "Fosenya ga boleh ngangkat satu tangan ya, karena kita bukan tim sukses".
Ada juga fose dengan mengangkan dua jari sebagai lambang kedamaian (peace) , kalau bahasa yang dimengertinya "Pis". Ada juga gaya andalan saat berfoto dengan mengacungkan dua jari, dan hal itu lazim sebelum kampanye capres ini dimulai. Lalu banyak juga yang nyentil bilang, "Jangan gitu eksisnya,", "Gayanya jangan mengacungkan dua jari lah, da bukan kampanye". Lhoo gitu sih? Kenapa harus menghilangkan budaya kita hanya karena hal ini? Kenapa selalu diasumsikan semua hal ada urusannya dengan politik pilpres? Kenapa semua angka no urut ini merambah ke berbagai aktivitas kita dan membatasi kita untuk berekspresi dan bertindak sesuai keinginan? Saya pun masih bingung, apakah orang yang berbicara seperti itu adalah orang yang menghindari asumsi publik tentang kampanye ini atau memang mereka merupakan pendukung salah satu paslon. Ah, entahlah. Yang jelas saya tidak suka kalau ada pembatasan terhadap kebebasan berekspresi.
Saya pun resah, jika bangsa kita terus-menerus menjadi terburai hanya karena berbeda pilihan. Saya resah, bagaimana jadinya negara kita jika pemikiran bangsanya dipenuhi hujatan dan kebencian. Bukannya kita ini satu Indonesia? Pikiran dan pilihan boleh berbeda. Tapi jangan sampai meruntuhkan persatuan yang telah lama kita bangun kokoh. Setiap orang punya hak masing-masing untuk menentukan pilihannya. Kita boleh bertindak persuasif asalkan selalu bertindak baik dengan menanamkan nilai-nilai moral untuk tidak saling menghujat. Jangan menjadi provokator yang mengajak untuk membenci. Ketika setiap orang berbeda pilihan dan pendapat dengan kita, jangan judge mereka bahwa mereka salah. Karena setiap hal selalu memiliki kebenaran tersendiri saat dilihat dari sisi lainnya. Tidak perlu repot-repot berdebat keras dan sampai melakukan hal-hal bodoh karena merasa berbeda pilihan. Biarkan saja. Semuanya punya hak yang sama untuk memilih pilihan mereka masing-masing. Ingat, kita ini satu Indonesia, teman-teman.
Terakhir, disini saya tidak pernah menuntut teman-teman semua untuk berpikir sesuai dengan asumsi saya. Kalian punya pikiran sendiri yang mungkin berbeda dengan pemikiran saya. Kalian punya pandangan sendiri yang mungkin bertentangan dengan pandangan saya. Tapi, saya harap semuanya tetap menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa. Jadilah pemilih yang bijak.
Komentar
Posting Komentar